Berbangga Berselimut Syukur
Sudah lama saya mengamati sebuah fonomena yang terjadi di jejaring sosial. Tentang orang-orang yang bahagia dengan apa yang Allah SWT berikan kepadanya, sebagai saudara seiman sayapun senantiasa merasa gembira mendengar berita-berita baik itu.
semisal, saudara-saudara saya yang pergi ke Baitullah, bersyukur karena bekerja di tempat tertentu, bahagia memiliki kendaraan, tempat tinggal, atau pendapatan tertentu, berbahagia dengan kehamilannya/istrinya, menikah dan berpergian keberbagai tempat yang begitu memanjakan mata yang rindu akan surga ini.
Namun, ada kala "Kebahagiaan yang berlebih bisa menjadi duka orang lain". Mungkin banyak orang yang merasa akun sosmednya adalah miliknya pribadi, sehingga ia merasa wajar meluapkan rasa bahagia dan bangga dengan sebuah kalimat indah "Alhamdulillah".
Saudaraku, ingatlah firman yang syahdu menggetarkan semua rasa itu,
Besi (Al-Ĥadīd):23
"(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,"
terguncang dada saya, ketika Allah SWT mengingatkan diri ini untuk tidak terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan oleh Allah SWT, dan lebih dari sekedar terguncang, lamat-lamat jari saya pun bergetar kuat saat saya menuliskan kata teguran itu "Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,".
Imam al-Ghazali pernah berkata “Perasaan ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri, tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Allah.”
Ketika kita mengembalikan segala rasa syukur kepada Allah, maka biarlah Ia yang mendengarnya. Kadang kita tidak menyadari, bahwa dari sekian rasa syukur yang kita tuliskan di jejaring sosial, mungkin ada yang luput kita haturkan kepada Allah, ada yang luput kita berdecak dalam dada itu, atau dari sekian rasa syukur yang kita tuliskan terselip kesombongan dan rasa pamer di dalamnya.
Ibnu Jarir menyebutkan tafsiran ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” dari Qotadah. Maksud ayat tersebut adalah seperti menyatakan, “Kami lebih banyak dari keturunan si fulan, atau keturunan A lebih unggul dari keturunan B. Kebanggaan itu semua melalaikan hingga mereka mati dalam keadaan sesat.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 598-599)
Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
“Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)
Ya Allah, jauhkanlah aku dan saudara-saudaraku yang membaca tulisan ini dari sifat sombong dan membanggakan diri dalam hal harta dan dunia. Karuniakanlah pada kami sifat qona’ah, selalu merasa berkecukupan, atas nikmatmu yang kami bersyukur hanya kepadamu.
karena biarlah kita meyakini dalam dada kita....
"Apa yang bisa aku banggakan dari dunia yang menipu ini?"
-Haris Fadhillah-
Tidak ada komentar: